Jumat, 21 Februari 2014

KLIPING IPS SEJARAH
 



























  Disusun oleh :
         
      Abdul Kholiq Amrulloh










KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui seberapa besar pengaruh pelajaran sejarah. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini memuat tentang pelajaran sejarah semester II” dan sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap dunia pendidikan.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada guru/dosen pembimbing yang telah banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan.



A.   Candi Borobudur

LETAK CANDI

Berbagai peninggalan sarana ritual agama Hindu maupun agama Buddha banyak ditemukan di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Sarana ritual tersebut berupa bangunan suci yang disebut candi, berbagai kolam suci yang disebut patirthan dan gua-gua pertapaan. Salah satu peninggalan yang sangat penting tidak saja bagi umat Buddha tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia adalah sebuah bangunan suci yang dikenal sebagai candi Borobudur, yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia (World Heritage) pada tahun 1991.





Candi ini terletak didesa Bumisegoro, dekat Magelang, disebuah bukit yang ada di antara bukit Dagi dan sebuah bukit kecil lainnya, dan di sebelah selatan bukit Menoreh. Kira-kira 2 kilometer sebelah timurnya terdapat pertemuan dua buah sungai yaitu sungai Progo dan sungai Elo.

Menarik perhatian adalah bahwa candi Borobudur terletak pada satu garis lurus dengan dua candi Buddha lainnya, yaitu candi Pawon dan candi Mendut. Menurut beberapa pendapat hal ini terkait dengan kepercayaan tertentu dalam agama Buddha. Letak candi di atas sebuah bukit atau tempat yang ditinggikan dan dekat dengan pertemuan dua buah sungai, merupakan pilihan yang tepat sesuai dengan aturan yang disebut dalam kitab Vastusastra. Salah satu Vastusastra yang mungkin dikenal oleh para seniman Indonesia adalah Vastusastra versi India Selatan yang disebut Manasara.

Ada temuan-temuan dihalaman candi berupa stupika tanah liat, meterai tanah liat bergambar Tara dan Buddha Tathagatha yang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan. Ditahun 1952 ada penemuan lain berupa fondasi bangunan, sejumlah paku, besi, pecahan gerabah dan tembikar halus, sebuah genta , dan sebagainya, yang menunjukkan kemungkinan adanya vihara untuk para bhiksu pengelola candi yang terletak diluar halaman candi.



B.     CANDI KALASAN


CANDI-KALASANCandi Kalasan terletak hanya 50 meter di tepi sebelah Selatan dari Jalan Raya Yogya-Solo ,Kilometer 14 dan lebih kurang 600 meter di sebelah Barat Daya Candi Sari. Candi Kalasan merupakan peninggalan Budha yang tertua di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah yang dibangun pada Tahun 778 Masehi sebagai persembahan kepada Dewi Tara Candi Kalasan ini bercorak Budha namun pendirinya adalah Rakai Panangkaran dari Wanca Sanjaya yang menganut agama Hindu, atas bujukan Guru-Gurunya dari Wanca Syailendra yang menganut Agama Budha . Candi Kalasan juga terkenal sebagai candi yang Indah Hiasannya dan sangat halus pahatan batunya. Selain itu ornamen dan relief pada dinding luarnya dilapisi sejenis semen kuno yang disebut Vajralepa

C. CANDI MENDUT


Candi Mendut ialah sebuah candi agama Buddha yang terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Indonesia, beberapa kilometer dari candi Borobudur. Dibina oleh dinasti Syailendra, prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi menyebut bahawa raja Indra membina bangunan suci ini dan menamainya sebagai venuvana,  iaitu “hutan buluh”.

 

D.                   Candi Muara Takus

Candi Muara Takus
Batu tulis dari Candi Bungsu di Muara Takus
Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad keempat, ada yang mengatakan abad ketujuh, abad kesembilan bahkan pada abad kesebelas. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.[1][2]
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatera, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini.
Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Cina, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

E. Prambanan, Candi Hindu Terbesar Di Indonesia

Seperti halnya Borobudur, candi Prambanan juga merupakan candi besar yang ada di Indonesia. Keberadaan candi ini juga sudah dikenal luas di dunia. Jika candi Borobudur adalah candi Budha terbesar di Indonesia maka candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Indonesia.




Berada kurang lebih 20 km dari Yogyakarta, 40 km dari Surakarta/Solo dan 120 km dari Semarang membuat candi Prambanan mudah diakses dari kota-kota besar tersebut.

Candi Prambanan dibangun oleh Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I namun dalam perkembangannya terdapat sebuah legenda yang mewarnai keberadaan canndi ini yaitu legenda antara Bandung Bondowoso dan Roro Jongrang.

lkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Komplek candi Prambanan terdiri dari Candi utama yaitu Candi Siwa(tengah), Candi Brahma (selatan), Candi Wisnu (utara). Didepannya terletak Candi Wahana (kendaraan) sebagai kendaraan Trimurti; Candi Angkasa adalah kendaraan Brahma (Dewa Penjaga), Candi Nandi (Kerbau) adalah kendaraan Siwa (Dewa Perusak) dan Candi Garuda adalah kendaraan Wisnu (Dewa Pencipta)

F.                    Candi Plaosan

 sebuah candi yang dibangun oleh Rakai Pikatan untuk permaisurinya, Pramudyawardani. Terletak di Dusun Bugisan Kecamatan Prambanan, arsitektur candi ini merupakan perpaduan Hindu dan Budha.
Kompleks Plaosan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Kedua candi itu memiliki teras berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh dinding, tempat semedi berbentuk gardu di bagian barat serta stupa di sisi lainnya. Karena kesamaan itu, maka kenampakan Candi Plaosan Lor dan Kidul hampir serupa jika dilihat dari jauh sehingga sampai sekarang Candi Plaosan juga sering disebut candi kembar.
Bangunan Candi Plaosan Lor memiliki halaman tengah yang dikelilingi oleh dinding dengan pintu masuk di sebelah barat. Pada bagian tengah halaman itu terdapat pendopo berukuran 21,62 m x 19 m. Pada bagian timur pendopo terdapat 3 buah altar, yaitu altar utara, timur dan selatan. Gambaran Amitbha, Ratnasambhava, Vairochana, dan Aksobya terdapat di altar timur. Stupa Samantabadhara dan figur Ksitigarbha ada di altar utara, sementara gambaran Manjusri terdapat di altar barat.
Candi Plaosan Kidul juga memiliki pendopo di bagian tengah yang dikelilingi 8 candi kecil yang terbagi menjadi 2 tingkat dan tiap-tiap tingkat terdiri dari 4 candi. Ada pula gambaran Tathagata Amitbha, Vajrapani dengan atribut vajra pada utpala serta Prajnaparamita yang dianggap sebagai “ibu dari semua Budha”. Beberapa gambar lain masih bisa dijumpai namun tidak pada tempat yang asli. Figur Manujri yang menurut seorang ilmuwan Belanda bernama Krom cukup signifikan juga bisa dijumpai.
Bagian Bas relief candi ini memiliki gambaran unik pria dan wanita. Terdapat seorang pria yang digambarkan tengah duduk bersila dengan tangan menyembah serta figur pria dengan tangan vara mudra dan vas di kaki yang dikelilingi enam pria yang lebih kecil. Seorang wanita ada yang digambarkan sedang berdiri dengan tangan vara mudra, sementara di sekelilingnya terdapat buku, pallet dan vas. Krom berpendapat bahwa figur pria wanita itu adalah gambaran patron supporter dari dua wihara.Seluruh kompleks Candi Plaosan memiliki 116 stupa perwara dan 50 candi perwara. Stupa perwara bisa dilihat di semua sisi candi utama, demikian pula candi perwara yang ukurannya lebih kecil. Bila berjalan ke bagian utara, anda bisa melihat bangunan terbuka yang disebut Mandapa. Dua buah prasati juga bisa ditemui, yaitu prasasti yang di atas keping emas di sebelah utara candi utama dan prasasti yang ditulis di atas batu di Candi Perwara baris pertama.
Salah satu kekhasan Candi Plaosan adalah permukaan teras yang halus. Krom berpendapat teras candi ini berbeda dengan teras candi lain yang dibangun di masa yang sama. Menurutnya, hal itu terkait dengan fungsi candi kala itu yang diduga untuk menyimpan teks-teks kanonik milik para pendeta Budha. Dugaan lain yang berasal dari para ilmuwan Belanda, jika jumlah pendeta di wilayah itu sedikit maka mungkin teras itu digunakan sebagai sebuah wihara (tempat ibadah umat Budha).

G.eksotisme candi cetha


Indonesia memasuki periode sejarah setelah memperoleh pengaruh dari India. Periode sejarah kebudayaan Indonesia yang oleh banyak penulis dinamakan sebagai periode klasik ditandai oleh ciri-ciri Hindu atau Budha pada peninggalan purbakalanya. Ciri-ciri ini ditemukan antara lain dalam arsitertur candi dan arca yang berkaitan dengannya, penggunaan bahasa sansekerta dalam banyak prasasti dan ketaatan pada prosodi India.

Agama Hindu dan Budha tidak diperkenalkan pada bangsa Indonesia melalui paksaan atau penjajahan. Sedyawati mengungkapkan bahwa peristiwa-peristiwa budaya dan agama, pengenalan bahasa sansekerta untuk menulis dan penerimaan mitologi Budha dan Hindu bukanlah bidang para saudagar. Kemungkinan lebih besar terdapat pada peranan pangeran-pangeran yang berkuasa di kerajaan-kerajaan kecil di Indonesua dipengaruhi oleh para pendeta dari India. Pendeta-pendeta itu bertanggung jawab atas pengenalan suatu agama yang memungkinkan Raja mengidentifikasikan dirinya dengan dewa atau Bodisatwa sehingga memperkuat kekuasaannya.
Candi merupakan suatu bangunan kuno yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara keagamaan. Candi digunakan oleh umat Hindu dan Budha, yang awalnya merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan abu jenazah para raja yang telah meninggal. Pada perkembangan selanjutnya candi berkembang sebagai tempat bersembahyang untuk menyembah dewa dan menghormati raja yang telah meninggal.Antara abad ke-7 sampau 15 M, ada ratusan bangunan keagamaan yang didirikan dari batu bata (terakota) dan batu andesit. Bangunan inilah yang kita kenal dengan nama candi .

Candi berasal dari kata candika, nama lain dari dewi kematian, istri siwa Candika merupakan kepanjangan dari kata Candikargha yang artinya tempat kediaman dari istri Siwa. Candi sering dihubungkan dengan kematian, karena berkaitan dengan kematian Dewi Kematian, sehingga candi ini digunakan untuk menghormati raja yang telah meninggal dunia. Bagi agama Hindu, candi didirikan untuk dipersembahkan kepada setiap dewa Hindu. Ciri Hindu yang melekat pada candi adalah terdapat perigi sebagai meletakkan peti atau wadah abu jenazah. Di atas abu dan persembahan diletakkan simbol suci, yakni lingga-yoni.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memperoleh pengaruh luas agama Hindu. Pengaruh Hindu di Indonesia terutama terdapat pada arsitektur bangunan candi. Selain dianggap suci, candi digunakan sebagai tempat menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. Fungsi candi kemudian berkembang menjadi tempat sembahyang memuja dewa dan menghormati para raja yang telah meninggal.
Candi Cetha merupakan salah satu candi yang dibangun pada zaman Kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V. Konon, nama Cetha, yang dalam bahasa Jawa berarti "jelas", digunakan karena dari Dusun Cetha orang dapat dengan jelas melihat ke berbagai arah. Ke arah utara terlihat pemandangan Karanganyar dan Kota Solo dengan latar belakang Gunung Merbabu dan Merapi serta, lebih jauh lagi, puncak Gunung Sumbing. Ke arah barat dan timur terlihat bukit-bukit hijau membentang, sedangkan ke arah selatan terlihat punggung dan anak-anak Gunung Lawu
Untuk bisa mengetahui isi dari Candi Cetha diperlukan pemahaman yang luas agar bisa menghayati isi setiap relief di Candi Cetha. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman penafsiran
Sampai saat ini candi cetha masih digunakan sebgai tempat sembahyang bagi sebagian penduduk dan pemeluk agama hindhu pada waktu tertentu untuk mengetahui fungsi candi cetha secra detail








1. Sejarah candi Penataran
Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Negara Indonesia. Raffles bersama-sama dengan Dr.Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Panataran, dan hasil kunjunganya dibukukan dalam buku yang berjudul “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti oleh para peneliti lain yaitu : J.Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di komplek percandian Panataran.




















H.   CANDI DIENG, WONOSOBO - JATENG

Secara administratif dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) dengan ketinggian kurang lebih 2088 m DPL dengan suhu rata-rata 13-17 C, berada di lokasi wilayah kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit. Sebelum menjadi dataran, area ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas-bekasnya berupa telaga. Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang-kadang masih menampakan aktivitas vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga aktivitas vulkanik, yang berupa gas / uap panas bumi dan dialirkan melalui pipa dengan diameter yang cukup besar, dan dipasang di permukaan tanah untuk menuju ke lokasi tertentu yang berada cukup jauh dari lokasi pemukiman penduduk dan dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi. Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah dan situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga dataran tinggi Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus obyek peninggalan sejarah yang menarik. 




Dataran tinggi Dieng dianggap merupakan suatu tempat yang memiliki kekuatan misterius sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga tempat ini dianggap suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah ini, komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan peninggalan Arca Dewa Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu. Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng diberi nama yang berkaitan dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi Sembadra, candi Srikandi dan candi Puntadewa. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Tokoh siapa yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan, dikarenakan informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak ada satupun yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun.



Dari prasasti batu yang ditemukan, menyebutkan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi, dari informasi ini dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat suci Agama Hindu digunakan kurang lebih 4 abad. Dari sisi arsitektur candi-candi di komplek agak berbeda dibandingkan dengan candi-candi umumnya di Pulau Jawa, terutama candi Bima. Bentuk bagian atas candi Bima merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan. Gaya arsitek India Utara nampak pada bagian atas yang disebut dengan Sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan terlihat adanya hiasan Kudu yaitu hiasan kepala-kepala dewa yang seolah melongok keluar dari bilik jendela







I.        CANDI SUKUH



Menikmati Candi dan Air Terjun di KarangAnyar

Karanganyar adalah sebuah kabupaten di Jawa Tengah, yang
dahulu merupakan keresidenan Surakarta.
Di daerah yang terletak di kaku gunung Lawu ini banyak terdapat objek wisata,
seperti wisata air terjun Grojogan Sewu, air terjun Jumog, candi Sukuh dan
candi Cetho.
Karanganyar yang berhawa sejuk ini merupakan salah satu primadona
wisata kota
Solo. Gunung Lawu yang tingginya 3265 meter ini terletak di perbatasan antara
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banyak penganut agama Hindu datang ke gunung Lawu
untuk mengadakan ritual agama karena mereka menganggap gunung ini suci dan
keramat. Sejumlah candi Hindu banyak terdapat di lereng gunung Lawu diantaranya
yang terkenal acndi Sukuh dan candi Cetho. Kedua candi ini juga banyak
dikunjungi penganut agama Hindu dan sekaligus menjadi objek wisata yang menarik
bagi kaum turis.






Candi sukuh



Candi Sukuh yang terletak di desa Berjo, kecamatan Ngargoyoso,
dibangun antara abad ke-15 dan abad ke-16. Candi ini merupakan candi erotis
yang mempunyai sejumlah relief dengan berbagai bentuk di antaranya menyerupai kelamin
laki-laki dan kelamin wanita yang dibuat hampir bersentuhan.

Candi Sukuh berada di areal seluas 5500 m2, terdiri dari
tiga halaman teras dan setiap teras ditandai dengan gerbang gapura. Selain itu,
setiap halaman dibatasi oleh pagar batu setinggi dua meter dengan pintu masuk
berupa gapura. Halaman teras pertama merupakan halaman paling rendah, halaman
teras kedua lebih tinggi dari teras pertama dan halaman teras ketiga merupakan
tempat yang paling tinggi. Semakin tinggi teras itu, semakin tinggi pula
tingkat kesucian tempat tersebut.
Di teras kedua terdapat gapura yang tidak utuh lagi. Pada teras
ketiga terdapat bangunan utama candi
dengan struktur bangunan berbentuk piramida yang puncaknya terpenggal. Pada
bagian ini terdapat sisa-sisa bangunan, arca, relief, serta prasasti yang belum
jelas maknanya. Melihanya keberadaan candi ini seperti tempat pemujaan
kesuburan.
Di sekitar candi Sukuh banyak terdapat penginapan baik
berupa rumah penduduk maupun berupa cottages. Penginapan ini dapat menampung
para wisatawan yang ingin menikmati suasaan di sekitar candi. Dalam perjalanan dari
Solo menuju candi kita dapat menikmati pemandangan yang indah.
























J.Jejak Pelarian Hindu di Kaki Gunung Lawu

Ada 15 pura di kaki Gunung Lawu. Ini terkait sejarah pelarian raja Majapahit, Brawijaya V.

Pura di kaki Gunung Lawu  
- Bangunan rumah khas Hindu -- seperti keberadaan gerbang rumah dengan hiasan batu candi menjadi pemandangan umum dari rumah-rumah yang ada di puncak kaki Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Tak hanya itu, ketika mendekati puncak dari salah satu pura agung, Candi Cetho, bau dupa yang biasa digunakan untuk sembahyang terasa menyengat.

Masyarakat di Kaki Gunung Lawu tepatnya di Kecamatan Ngargoyoso, sebagian besar memang memeluk agama Hindu. Bahkan bisa dikatakan 99 persen masyarakatnya beragama Hindu.

“Memang di sini adalah kampung Hindu. Bahkan bisa dikatakan 99 persen penduduknya adalah beragama Hindu. Ada puluhan KK atau ratusan masyarakat yang beragama Hindu, “ tutur Sugeng Karyanta, salah satu pemeluk agama Hindu di Desa Cetho kepada VIVAnews.

Karena sebagian besar adalah beragama Hindu, keberadaan masjid di daerah sini sangat jarang ditemui. Yang  sangat gampang ditemui tentu saja adalah pura, tempat  beribdah agama Hindu.” Di kecamatan sini ada sekitar 15 pura,“ kata Sugeng.

Keberadaan perkampungan Hindu tersebut ternyata memiliki sejarah tersendiri. Keberadaannya sudah ada sejak akhir abad 14. Hal ini terkait dengan sejarah pelarian raja Majapahit, Brawijaya V atau Bhre Kertabumi.

“Cerita awalnya adalah Brawijaya V lari ketika dikejar-kejar oleh putranya, yaitu Raden Patah yang waktu itu ingin meng-Islamkan bapaknya. Tetapi Brawijaya lari ke daerah terpencil dan sulit untuk dikejar yaitu di kaki Lawu yang memiliki ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut, “ tambah Sugeng.

Brawijaya V, lanjut Sugeng, kemudian membangun pura-pura untuk beribadah. Salah satunya adalah pura agung ini, Candi Cetho. “Candi Cetho diyakini menjadi salah satu pura agung. Candi dengan konsep bangunan berundak ini sering menjadi tempat sembahyang untuk umat Hindu sekitar, “ ceritanya.

Jadi perkampungan Hindu ini sudah berlangsung sekitar  7 abad. Karena secara turun temurun mereka tetap tinggal di sana dengan melestarikan budaya dan agama Hindu. “Ketika hari besar agama Hindu, kami secara bersama-sama merayakannya. Untuk hari Nyepi kami memulai prosesinya pada Minggu 14 Maret 2010 hingga 16 Maret 2010, “ katanya.

Jika dibandingkan dengan Hindu Bali, maka Hindu di Kaki Lawu sedikit berbeda.

“Karena kami tinggal di tanah Jawa, maka percampuran budaya Jawa dengan Hindu tak bisa dihindari. Hal inilah yang membedakannya dengan Hindu Bali. Salah satunya terlihat dalam sesaji yang biasa digunakan. Kami mengikis beberapa sesaji Jawa dan Banten, guna menyusaikan dengan budaya Jawa, “ ceritanya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar